Selasa/ September 8, 2020 (malam)

    



     Hari ini adalah hari pertama aku menulis kembali di blog. Aku tidak tahu apakah ini akan berdampak sesuatu untuk hidupku atau tidak. Aku hanya ingin mencoba menggunakan fungsi berbagi di media sosial untuk sosialisasi.

    Aku memiliki beberapa platform untuk berbagi: Instagram, Twitter, dan Youtube, tapi entah mengapa rasanya aku terbatasi. Ruang gerakku sempit sekali. Aksaraku diam membeku seperti terikat tali. Rasa dan pikiranku seperti tidak diberi hak untuk mencicipi demokrasi. Entah ini perasaanku, atau memang peraturan sosialisasi membolehkan kita untuk menjadi apa pun yang kita mau ─kecuali diri kita sendiri.

    Ya: jeruji tak kasat mata itulah yang membawaku ke sini untuk menulis lagi. Karna sungguh, aku sangat butuh ruang untuk berbicara dengan jujur menggunakan hati; untuk berbicara apa pun yang harus aku utarakan tanpa perlu orang-orang menilaiku sebagai jiwa yang harus dijauhi.

    Perkenalkan, aku Zhafir Khairan Akalanka. Sedikit penjelasan tentang diriku ada di kolom Tentang Penulis (jika kau ingin tahu.)
    Hari ini, aku tidak tahu pasti apa yang harus aku tulis. Tapi biarlah hatiku menggerakan tanganku untuk menuliskan apa pun yang ia mau.
    Aku sedang dalam project menulis buku keduaku yang akan berupa novel. Banyak hal yang aku utarakan di sana. Termasuk bagaimana menjalani kehidupan dari sudut pandang seseorang sepertiku. Aku tidak tahu akan bagaimana hasilnya, tapi aku betul-betul mengungkapkan siapa diriku dan bagaimana keseharianku dalam menghadapi hitam-putih-abu kehidupan ini. Bahkan, novel ini akan sangat ceplas-ceplos: akan ada banyak bagian-bagian terlarang yang mungkin akan mengganggu kejiwaan. Tapi, apa pun itu, aku hanya tak mau lagi untuk menutupi. Aku hanya ingin mengungkapkan semuanya tanpa perlu ada yang harus kusembunyikan lagi. Karna sungguh, aku lelah memendam atau menelan semua hal yang selalu berhasil membuatku setengah mati. Ya: aku ingin memuntahkan semuanya sampai ke inti. Dan sebagai bocoran, tokoh utama di novelku bukanlah diriku. Aku menggunakan POV dari sudut pandang yang ─di akhir cerita─ akan membuat keram otakmu.
    Rutinitasku setiap hari itu sederhana: bangun pada dini hari sekitar pukul dua atau tiga, merenung, membuat teh, berkebun, menggambar/ melukis, menulis, diskusi dengan tim bila tiba waktunya, me-manage bisnis, mencari inspirasi di internet, mendengarkan masalah orang-orang, membuatkan syair untuk orang-orang, merenung di taman, mengekspresikan apa yang kurasa melalui nada, syair, atau hanya sekadar mengembangkan ide untuk buku-bukuku selanjutnya.
    Aku tidak banyak bergerak. Aku tidak bisa kelelahan. Aku memiliki kondisi. Terlebih, aku penyendiri. Entah bagaimana imajinasimu ketika aku berkata 'penyendiri', tapi sungguh, aku tidak begitu banyak bertemu dengan seseorang di setiap hari. Sangat tidak banyak. Jarimu itu bahkan terlalu banyak untuk menghitung total jumlah orang yang kutemui di setiap hari. Entahlah, mungkin suatu hari aku akan bersosialisasi, tapi kurasa bukan di sini: di dalam jeruji.
    Jika kau berpikir keseharianku sangat mendamaikan, kau salah besar. Selalu ada hal-hal yang mengganggu kestabilan emosiku. O, iya, orang sepertiku sangat menjauhi hal-hal yang mengganggu kejiwaan. Aku sangatlah sensitif terhadap hal kecil yang mengganggu nurani. Aku tahu, akan ada banyak perspektif tentang hal-hal apa yang dapat mengganggu kejiwaan seorang manusia. Dan apa yang mengganggu jiwaku, belum tentu mengganggu jiwamu. Tapi, sungguh, aku sangat rentan. Bahkan , distraksi yang menurutmu kecil, bisa saja sangatlah besar dan berdampak untukku.
    Distraksi-distraksi yang selalu berdampak besar untuk kejiwaanku sangatlah banyak, tapi aku akan coba beritahu sebisaku: suara gaduh kendaraan, suara percakapan sinetron di televisi, suara tinggi percakapan orang-orang di luar ruanganku, suara perkelahian atau adu mulut, suara yang mengejutkan, suara piring pecah, suara barang jatuh, suara tertutupnya pintu atau jendela yang terlalu keras, suara bisik-bisik dari sekumpulan orang yang sedang membicarkan seseorang, suara sekumpulan orang yang berbicara politik di luar kapasitasnya, suara bayi menangis yang dibiarkan menangis, suara telfon tiba-tiba dari seseorang yang tidak dikenali, suara seseorang yang berteriak hanya untuk memanggil seseorang, dan masih banyak lagi. Semua itu, selalu berhasil menghancurkan keseimbangan emosiku di sebuah hari. Maka, jika kau melihatku menjalani rutinitas sehari-hari, kau akan melihat betapa telingaku selalu ditutupi headset sepanjang hari. Tidak, bukan, aku tidak selalu mendengarkan musik, bahkan seringkali aku memakainya hanya karna ingin frekuensi sekitarku tidak terlalu terdengar; hanya karna ingin agar tidak ada orang-orang yang mengajakku berbicara tentang gosip, gadget, trend terkini, atau tentang betapa ia ingin membanggakan diri sendiri: aku teramat benci sosialisasi di jaman ini. Aku sangat suka kesunyian di telingaku. Tapi, terkadang pula aku suka musik-musik keras, bukan untuk dibagi ke dunia dengan memutarnya di speaker yang besar, aku mendengarnya hanya untuk diriku sendiri menggunakan headset tersebut, sehingga frekuensiku betul-betul sedang tidak ada di sini. Dan ketika musik berhenti, dan frekuensi tempatku terdengar lagi, aku merasa seperti kehilangan napas, aku benci, itu membuatku dengan segera memutar musik yang baru lagi, dan kembali melarikan diri/ bersosialisasi melalui frekuensi atau imajinasi dengan karya-karya para pegiat seni: lagu, lukisan, foto, video, film, dll.

    Akhir-akhir ini, aku selalu melihat hal-hal aneh. Yang paling sering terjadi adalah, di sebuah waktu di mana kondisi otakku dalam keadaan Theta, seperti ketika mau tertidur, ketika merenung, ketika rileks, dsb., aku selalu merasakan sensasi jantungku akan berhenti berdetak dalam hitungan detik. Lalu, setelahnya akan ada suara yang ─entah dari mana─  menakut-nakutiku. Seperti aku tidak lagi akan memiliki waktu; seperti aku melihat ada tangan ─besar sekali─ dari langit, yang mencoba menggapai jantungku. Setelah itu ─seperti biasa─ aku akan terperanjat dari kesadaranku dan mencoba menampar diriku sendiri agar tidak terlalu larut dalam skema imajinasi tersebut. Dan itulah yang membuatku sampai detik tidak pernah cukup tidur.
    Untuk tidur itu sendiri, akhir-akhir ini aku selalu merasa ketakutan. Aku selalu mendapatkan mimpi-mimpi yang berupa teka-teki: yang aneh dan membebani pikiranku (karna setelahnya, aku akan berpikir keras untuk mencoba memecahkan arti mimpinya, atau sekadar memprediksi akan ada hal buruk apa yang nanti terjadi di hari itu.) Itulah sebabnya aku selalu terlihat lesu: aku lelah. Aku ingin mendapatkan waktu tidur yang normal dan cukup. Satu-satunya momen terakhir yang kuingat di mana tidur adalah hal yang menyembuhkan lelah seseorang adalah ketika aku duduk di bangku SMP kelas 2, itu adalah momen terakhir bagaimana tidur adalah rutinitas yang sangat membantu untuk mengembalikan energi seseorang. Tapi setelah hari itu ─sampai detik ini─ tidur tak pernah cukup berfungsi apa-apa untukku: aku tetap dan malah akan semakin lelah ketika aku terbangun. Ya. Aku lelah. Aku ingin tertidur sedikit lebih lama tanpa perlu hati dan pikiranku akan terbebani setelahnya.
    Beberapa hari yang lalu, aku sempat menonton sebuah film (kisah nyata) tentang biografi seseorang. Judulnya Beautiful Mind. Film tersebut mengisahkan tentang seorang lelaki jenius, aneh, penyendiri. Ia menghabiskan masa mudanya dengan ilmu di dalam sunyi. Ia pemikir keras, namun hatinya lembut sekali. Hanya karna ia merasa fungsi sosialisasi di tempatnya tidak begitu banyak membawa manfaat dan hanya mengganggu/ merusak kejiwaannya, ia lebih memilih mengisolasi diri, sehingga ia nyaris tidak memiliki teman sama sekali.
    Singkat cerita, ia telah tumbuh dewasa dan menjadi dosen untuk memberikan ilmu di sebuah universitas. Ada seorang wanita (muridnya) yang melihat dirinya berbeda. Wanita ini bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. Ketika banyak orang meledek dan menghinanya karna keanehannya dalam berjalan atau berbicara, wanita ini melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa. Akhirnya, pendek cerita, mereka jatuh cinta dan menikah.
    Perjuangan dimulai ketika menikah, bagaimana perjuangan tersebut lebih terasa di sudut si wanita. Ya, sebagai istri yang setia, ia selalu ada untuk mengerti isi pikiran/ kesedihan yang sedang melanda suaminya. Perjuangan semakin berat terasa, terlebih ketika realita mengungkapkan bahwa si suami menderita Skizofrenia (sebuah keadaan di mana si penderita tidak bisa memilah mana khayalan dan kenyataan.)
    Sangat menyiksa. Jelas sangat menyiksa. Maksudku, bayangkanlah bila khayalan si suami adalah memiliki teman imajinari seorang pembunuh yang jenius. Lalu ia memanipulasi/ mempengaruhi keyakinan si suami untuk lantas membunuh sang istri yang sudah sangat setia di berbagai keadaan. Sungguh, perjuangan seorang istri dalam menemani perjuangan suami melawan penyakit seperti ini sangatlah luar biasa. Apalagi, di akhir film, sang suami berhasil mendapatkan penghargaan nobel dunia karna kejeniusannya dalam meneliti sebuah ilmu. Ya, di balik suami yang hebat, ada istri yang sangat kuat.
    Film itu sungguh menginspirasiku; membuatku berpikir alangkah baik-baik sajanya diriku apabila di saat-saat pikiran-pikiran aneh itu menyerangku, ada seorang istri yang menyemangatiku dan menopangku. Ya, aku ingin menikah. Aku butuh menikah. Aku ingin seseorang di sisiku ketika masa bahagia dan burukku. Aku ingin pelukan. Aku pun sangat kesepian dan butuh kehangatan di kala jiwa dan hatiku menggigil kedinginan.
    Aku ingin disentuh ketika hatiku merasa jatuh. Aku ingin dikecup ketika aku merasa aku tak pernah cukup. Aku ingin bercinta mesra ketika aku merasa diriku tidak berguna. Aku ingin penisku dinaiki dengan pelukan erat dan cucuran hangat sebuah keringat. Aku ingin mencumbu bibirnya dan melupakan rasa sakit atas tragedi dan memori yang menyeruak di dalam dada dan kepala. Aku ingin dibuat lemas. Aku ingin mendengarnya mendesah seiring spermaku keluar di vaginanya. Dan aku ingin tertidur dalam pelukannya dengan damai dalam waktu yang lama.
    Entahlah, aku hanya mulai merasa lelah menjalani kehidupan ini seorang diri. Itu saja. Baiklah, aku harus melanjutkan aktifitas, mungkin nanti malam akan kulanjutkan kembali tulisan tentang perasaan dan pikiran-pikiranku ini. Sampai jumpa.






    Entah iya atau tidak tulisanku akan berkenan di hati, tapi kini aku tetap kembali. Jadi, mari lanjutkan kembali.

    Hari ini, seperti biasa: melelahkan sekali. Tapi kita harus bersyukur untuk apa pun yang terjadi, bukan? Jadi, aku tak punya pilihan lain selain menyingkirkan segala komplain dalam hati, dan mengatakan bahwa hari ini baik-baik saja. Ya. Sangat baik-baik sekali. 

Ya Tuhan, aku semakin pandai menipu hati sendiri.

    O, iya, aku mendapat beberapa pesan di media sosial. Aku selalu mendapat pesan dari banyak orang yang tak kukenali. Tapi hari ini aku melihat cukup banyak yang bertanya kenapa, ada apa, apa kabar, dsb. Terima kasih untuk kalian sebelumnya karna telah bertanya. Aku pun sangat ingin meminta maaf karna aku tidak bisa membalas pesan-pesannya. Aku tidak mengerti. Tapi sungguh, aku punya penjelasan mengapa jiwaku abai seperti itu. Hanya saja, seperti yang sudah-sudah, aku khawatir akan ada pembaca yang salah memaknainya, sehingga aku malah akan berakhir divonis sombong atau keras kepala. Ketahuilah, di lubuk hatiku, ada kehangatan dan kelembutan untuk siapa pun yang bersedia untuk kujadikan teman. Tapi percaya atau tidak, hatiku seperti memiliki alarm otomatis untuk bisa merasakan niat seseorang. Mungkin kau ingat kalau aku pernah berkata: aku bisa merasakan orientasi atau niat hati seseorang dengan hanya membaca susunan kalimatnya di chat ─ ya, itu bukanlah sebuah candaan. Aku betul-betul merasakannya. Bahkan persentase ketepatannya cukup akurat seiring aku dewasa; seiring aku sering dihadiahi luka.
    Ingin rasanya mengajak seseorang untuk berdiskusi tentang alarm otomatis-ku ini. Namun, seperti yang sudah-sudah, kebanyakan dari mereka langsung menyepelekan; menjadi motivator dadakan; memberi nasehat seolah aku mengajaknya berbicara untuk sebuah pengakuan dosa atau "ya! aku pernah juga! tapi kalau aku tuh bla bla bla..... ", hingga subjek 'obrolan mencari kesimpulan' seketika berubah menjadi sebuah 'curahan.'

    Aku tidak mengerti mengapa aku selalu bertemu dengan jiwa-jiwa yang dengan sangat senang hati mengajarkanku untuk membenci sosialisasi. Maksudku, apa gunanya bila sosialisasi hanya menguntungkan satu sisi dan membungkam sisi satunya lagi? Sungguh, di zaman "serba buka-bukaan" ini, introvert akut sepertiku merasa sangat tertekan dan terpenjara sekali. Apalagi kini karirku mengharuskanku untuk selalu tampil unjuk gigi dalam rangka untuk memberikan inspirasi. 

Sebentar, napas dulu.

    Baiklah, lupakan tentang jiwa-jiwa abstrak tadi. Mari kita lanjutkan tentang alarm otomatis ini.
    Sangat banyak waktu di mana aku menemukan diriku bertanya-tanya sendiri. Pertanyaan yang paling sering terlontar dari dalan hati adalah apakah seseorang pernah merasakan alarm otomatis ini? Kalau ada, aku ingin bertemu dengannya dan berdiskusi banyak dengannya. 
    Alarm otomatis ini sangat aneh sekali ─bagiku. Di satu sisi, ini seperti sebuah kelebihan, di sisi yang lain adalah beban. Ia memiliki banyak cara kerja. Dan yang paling mencuri perhatianku adalah ia mampu memberikan sinyal ke dadaku apabila sesuatu atau seseorang akan melukai hatiku; apabila kecewa akan menusuk hatiku; atau mungkin sebatas memberitahu hatiku bahwa aku akan merasakan ellipsism (kesedihan tanpa sebab.)

Intinya, alarm otomatis ini seperti ingin melindungiku; melindungi hatiku.

Tapi, percuma.
Meskipun dadaku diberi sinyal sebagai peringatan akan bahaya atau kesakitan ─yang akan kudapatkan dan mungkin sedang dalam perjalanan, aku tetap tidak bisa memanipulasi rencana semesta untuk sekonyong-konyong kugagalkan. Maksudku, jika memang takdirku harus terluka di sebuah hari, aku bisa apa untuk menghentikannya agar tidak terjadi? Toh, setelahnya luka itu justru adalah kasih sayang dari Tuhan agar aku bisa mendapatkan kekuatan, bukan? Kita tahu luka itu beban. Dan beban itu adalah alasan terbentuknya sebuah kekuatan. Jadi, jika aku sedang terluka dan hatiku sedang dijejali ragam kecewa, aku hanya bisa sabar menunggu; menahan terus kesakitanku; melawan terus monster yang sedang murka di dalam diriku, sampai kesedihan dan kesakitan ini tumbuh mekar menjadi sebuah kekuatan untukku. 

Ya, pada saat itu, aku hanya bisa berharap satu: ragam rasa sakitku tidak melebihi batas maksimal ketahananku.


Maaf, sepertinya untuk hari ini ─sampai di sini dulu. Lain kali, semoga aku bisa bahas lebih jauh lagi.
Bukan kenapa-napa, tulang belakangku sakit sekali. Itu membuat pandangan dan kesadaranku sedikit samar dan berputar.

Baiklah, sampai jumpa.
Salam,

Zha

1 comment:

  1. Aku berpikir apa aku harus memberi komentar atau tidak. Karena ada bagian dari tulisammu ini yang mengatakan bahwa butuh ruang untuk menuangkan rasa tanpa perlu takut dijauhi. Semoga komentar ku tidak mengganggumu.

    Aku tertarik mengenai "alarm otomatis" ini. "Alarm otomatis"-mu mungkin berbeda dengan "alarm otomatis"-ku. Entah milikku bisa dikatakan "alarm otomatis" atau bukan. Tapi aku ingin tau, seperti apa milikmu? Apakah memiliki rasa yang sama? Milikku? Hmm... Bahkan aku bingung bagaimana mengekspresikannya. I easily get the signal of human expression and gesture. Jika milikmu adalah untuk melindungi hatimu agar tak terluka, ku rasa milikku adalah melindungi orang lain agar tidak terluka. (Apa ini perumpamaan yang tepat atau tidak. Tapi sepertinya kalimat itu menggambarkannya.)


    Note: Aku sedikit pemilih terhadap bacaan dan gaya bahasa penulis. Salah satu penulis favoritku sudah lama tidak menerbitkan buku. Aku jadi merasa kesepian. Tapi aku suka membaca tulisanmu. Tulisanmu adalah salah satu yang membuatku tertarik untuk terus membaca. Teruslah menulis. Aku menantikan buku keduamu.

    ReplyDelete