Bagaimana hari-harimu?



“Bagaimana hari-harimu?”


Ah, pertanyaan itu terasa sangat menyakitiku terkadang. Bukan karna kalimat tersebut mengandung sebuah sarkas atau kalimat kasar. Sama sekali tidak. Hanya saja aku cukup kesulitan untuk menjabarkannya secara terstruktur. Dan pasti, setelahnya, napasku tidak teratur.

Tapi, aku akan tetap berusaha menjelaskannya.

Ngomong-ngomong, aku suka serial kartun di minggu pagi saat usiaku sekitar 7 tahun. Kebanyakan dari serial tersebut menceritakan kepahlawanan seorang karakter dalam memperjuangkan kebaikan dan menundukkan kejahatan. Hehe klasik sebetulnya. Tapi ya: apa yang selalu kulihat saat itu betul-betul membentuk jiwaku.

“Aku ingin menyelamatkan.”

Kau tahu kalimat itu mengiang di kepalaku hingga saat ini aku berdiri di sini di hadapan kalian.

Tapi sayangnya, aku memiliki banyak kekurangan untuk mewujudkan kalimatku itu. Terutama faktor internal dalam diriku, juga termasuk kesehatanku.

Kau tahu aku tidak bisa bekerja seperti manusia normal pada umumnya. Aku rentan kelelahan. Ditambah tulang belakangku yang selalu merasa kesakitan saat harus memikul atau mengerjakan hal-hal yang cukup berat.

Aku iri pada orang-orang yang bekerja keras di luar sana.

Tak hanya itu, aku pun pemalu dan agak sulit untuk berinteraksi normal dengan manusia. Hingga cukup berat bagiku jika harus menjalin relasi dengan klien-klien perusahaan. Tapi walau bagaimanapun, aku pernah coba bekerja di sebuah perusahaan.

Itu adalah pekerjaan pertama sekaligus terakhirku.


Aku bekerja di sebuah Corporation milik orang terkaya nomor tiga di Negara ini pada tahun itu.
Aku bekerja setiap hari; mengurusi tim untuk memuaskan klien di belakang layar; aku menerima gajiku setiap bulan, namun itu tak pernah membuatku memaknai kehidupan.
Semua motivasi yang kudapat di perusahaan, membuatku berlari ─di tempat. Seperti berputar dalam lingkaran. Seperti benih tumbuhan di dalam pot: tumbuh namun dibatasi.

Aku menyadari itu dan berhenti dari perusahaan setelah 3 bulan bekerja.

Dan kalian tahu apa? Gajiku selama tiga bulan tersebut habis oleh biaya pengobatanku.
Ya. Aku mudah jatuh sakit jika kelelahan. Dari situ aku menyadari penyakitku. Itu membuatku sedih. Jadi, dengan kata lain, aku seperti tidak pernah menerima gaji. Tapi aku bukan sedih karna seperti tidak menerima gaji, aku sedih karna di titik itu aku menyadari kenyataan diriku: aku berbeda.

Apa aku berbicara di luar koridor pertanyaan?
Maaf. Aku sangat senang ketika aku ditanya. Hari-hariku selalu ramai oleh sepi. Sebab itulah aku “selalu”......ah bahkan “terlalu” banyak memendam, lalu banyak bicara saat ada telinga.

Kembali ke hari-hariku.

Dongeng singkat di atas hanyalah perkenalan tentang kondisi internalku.
Sebuah kondisi yang membawaku ke sini dan menjadikanku seperti sekarang ini.

Hari-hariku membosankan jika dilihat dari luar. Tapi jika seandainya kalian melihat apa yang ada di dalam kepalaku, pasti kalian akan sering menghabiskan waktu sendirian. Seperti layaknya menonton film yang kita sukai; kita tak ingin diganggu; kita ingin sendiri; kita ingin fokus mencerna setiap adegan di dalamnya.

Seperti itulah aku: senang mengasingkan diri untuk menyaksikan apa yang berputar di dalam kepalaku.

Aku menyukai pagi.
Aku tak pernah mau melewati satu pun pagi dalam hidupku. Aku selalu tidur di akhir waktu dan bangun di awal waktu.
Bahkan saat hitamnya malam masih menyelimuti angkasa, aku sudah terduduk memangku rasa ─yang kosong di kebun belakang rumah untuk menanti datangnya sang fajar.
Seperti meminta makan. Seperti meminta pelukan yang akan sangat menenangkan. Seperti meminta pelajaran dari sinar fajar. Seperti meminta motivasi dari kilauannya yang menyusup di antara dedaunan.

Aku tersenyum sendiri saat sinar pagi membias menyentuh separuh wajahku.
Aku selalu memejamkan mata beberapa saat dan melihat:
potensi apa yang kumiliki; kesempatan apa yang masih kupunya; dan mimpi yang mana yang masih terasa masuk akal untuk kujadikan nyata.

Terkadang pun aku menangis.

Terkadang ketika aku memejamkan mata dan melihat ke dalam diriku, aku tak sengaja menyentuh luka lama. Hingga ingatan itu muncul kembali dan ya: aku berderai air mata seperti anak kecil yang dibuat tak mengerti apa-apa.

Setelah itu. Aku berusaha menyesap teh. Aku sangat suka teh, ngomong-ngomong.
Maksudku, aku tak ingin menginspirasi kalian untuk beralih dari kopi ke teh.
Nyaris tak kutemukan orang yang tidak menyukai kopi. They all love it much. Aku iri. Aku ingin juga. Tapi aku tidak bisa. Sistem pencernaanku agak sensitif terhadap kopi. Apalagi yang beraroma tajam. Hingga pelarianku dan ternyata berhasil menjadi teman sejatiku, adalah teh.

Aku tidak bisa merenung tanpa memegang sesuatu di tanganku. Aku harus menggenggam. Entah itu teh, pensil, buku atau tangan seseorang.
You might think I was totally weird. But in fact, aku pun tidak mengerti. Mungkin aku terlalu takut untuk menyelami pikiranku seorang diri. Di sana menyenangkan, namun gelap sekali. Dan aku tidak yakin bisa membuatmu mengerti.

Begitulah kira-kira aku mengawali hariku.

Setelah itu, aku akan merasa kedinginan dan kembali masuk ke rumah.

Aktifitasku selanjutnya adalah melihat banyak manusia lalu-lalang dari balik jendela. Betapa irinya aku melihat mereka dengan semangat bergegas menuju ke tempat kerja. Tidak seperti diri ini di setiap pagi: yang entah harus ke mana dan entah harus melakukan apa.

Itu membuatku sedih.

Aku memiliki banyak buku catatan. Dan kebanyakan isinya adalah curahanku di setiap pagi. Kebanyakan pertanyaan. Seperti mengapa aku berbeda, bisakah aku seperti mereka, atau hanya membasahi kertas dengan air mata karna tidak mampu menuliskan apa-apa.

E, maaf. Aku selalu menangis bila teringat bagaimana diriku pada saat itu.
Tapi aku harus tetap kuat, bukan? Hehe

Ok kembali ke topik!

Untuk menjawab bagaimana hariku, aku akan membaginya menjadi dua:
Satu: seperti dulu; seperti yang kuceritakan di atas, di mana aku menghabiskan waktu hanya meratapi apa yang tidak mampu kujalani. Ruangan kecil di rumah ibuku menjadi saksi di mana aku bergelut dengan depresi.

Dua: setelah aku bangkit dengan aksara dan mendedikasikan diriku pada cipta-mencipta karya untuk memberikan inspirasi atau sekadar mewakili rasa manusia.

Saat titik balik kebangkitan itu, aku memutuskan untuk mendirikan kerajaanku sendiri. Bukan karna kemauan, tapi karna tekanan. Ya. Aku adalah korban dari pem-bully-an, aku adalah salah satu yang terisolasi jaman, aku hidup dengan ketakutan, kecemasan, dan satu-satunya yang bisa kupeluk hanyalah impian yang tertaut pada Tuhan.

Aku menjual air mataku. Aku mendapatkan aliran dollar dan rupiah dari berbagai sumber, namun tetap: aku tidak bisa lepas dari kesedihan dan kehilangan. Terkadang aku ingin sekali untuk hilang ingatan.

Saat itu aku memiliki dua orang di sampingku.
Sebelah kanan adalah Ayahku, sebelah kiriku adalah Kekasihku.
Namun aku kembali menuai tragedi.
Ya. Aku kehilangan orang yang kucintai, termasuk pasanganku, juga Ayahku. Di mana kedua orang ini adalah dua faktor kenapa aku tetap berjuang.
Mereka berdua yang paling percaya bahwa aku bisa.
Ayahku meninggal
Dan kekasihku tidak lagi mau tinggal..
Dua momen itu berlangsung bersamaan─ nyaris tanpa jeda seperti tidak masuk akal.

E, Maaf, aku tidak bisa melanjutkan..

5 comments:

  1. IDN Poker 2020 Situs DominoQQ Terpercaya | Agen IDN Poker Online | Daftar Judi Kartu Uang Asli Resmi

    ReplyDelete
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    ReplyDelete
  3. 7 bulan berlalu setelah memposting tulisan ini. Sekarang, bagaimana hari-harimu, kak? Ah. Saya bahkan tidak suka bertanya dan ditanya seperti ini..

    ReplyDelete