Minggu, 4/ Mei/2025 - Zhafir Akalanka





 

Di dalam kesedihan yang kecil, kita bersuara.
Di dalam kesedihan yang besar, kita diam.

Sekarang, telah sedikit lebih kupahami, kesendirian adalah sahabat terbaik yang akan selalu menemani.
    Beberapa tahun ini, merupakan tahun-tahun terberat yang melintasi garis hidupku. Aku pernah tahu bagaimana rasanya hidup stabil dengan segala kebutuhan yang mencukupi. Aku pernah tahu bagaimana rasanya dilingkari oleh hal-hal yang membuatku dapat memandang hidup ini sebagai sesuatu yang ajaib dan indah. Kini, semua perlahan terkikis, semua hilang, yang pernah ada, kembali pada ketiadaan ─menyisakan aku yang tak pernah bisa keluar dari sesuatu yang menjerat. Segala arah kulihat kehampaan yang berlapis kehampaan. Kakiku di atas awan, berusaha mengetuk pintu langit dengan rasa malu yang begitu menghinakan, membuat tanganku tak pernah sampai.
    Di saat-saat beratku, orang terbaik tak pernah datang. Semua mimpi menjadi terasa begitu jauh. Aku merasa asing, bahkan pada diriku sendiri. Aku belum mati, namun setelah menaruh bunga untukku, orang-orang melangkahkan kakinya dariku. Penderitaan terberat adalah menyadari bahwa orang-orang yang kukira mencintaiku, adalah orang-orang yang berusaha mencari kebahagiaan padaku namun tidak ada; bahwa orang-orang yang berkata akan tulus mencintaiku di segala keadaan, adalah orang-orang yang kini menilaiku dengan penuh pertimbangan.
    Mengapa orang-orang menjadi penuh dengan penilaian ketika menghadapi seseorang yang sedang membutuh pertolongan? Bukanlah keinginan siapa pun untuk pernah sekuat itu, lalu tiba-tiba menjadi rapuh. Bukanlah keinginan siapa pun untuk pernah menjadi suar cahaya, lalu tiba-tiba menjadi lelehan lilin yang terabai dan tak lagi berguna. Di titik terendah, kusaksikan radar sosialku bertabur manusia, manusia, dan manusia, tapi tak sedikit pun kulihat kemanusiaan di dalamnya. Kepedulian memiliki harga yang tiba-tiba melonjak tinggi. Bahkan di titik ini, orang-orang menyerap hanya untuk menghidupi dirii sendiri. Mereka masih bisa duduk bersama dan tertawa, namun tak lagi ada cinta di dalam dada mereka. Mereka melihat sahabat-sahabat mereka dengan penglihatan yang sama ketika seorang pencuri sedang mengamati peluang untuk mencuri. Menanti kelengahan; menanti satu kesalahan dari sahabat-sahabat mereka, yang membuatnya dapat masuk dan melancarkan suatu rencana.
    Berulang kali aku memaafkan, pada siapa pun, pada diriku, pada apa pun, namun tak nampak sedikit pun perubahan. Akar yang menancap semakin dalam. Kukira akar bertugas mengokohkan, tapi aku lupa, bahwa itu bermakna sama dengan terjebak stagnan di suatu keadaan. Tak ada langkah. Mustahil aku berlari. Aku merosot dan menembus semakin dalam. Suaraku tenggelam. Tanganku tak sampai. Hanya kesendirian... hanya kesendirian...dingin dan gelap....tidak terbunuh, dan tidak pula hidup dengan layak.

0 comments:

Post a Comment